Selasa, 01 Mei 2012

Cinta Berkalang Tanah


Siang itu, langit mendung, awan hitam masih bergelantungan menghiasi langit. Rintik-rintik gerimis pun mulai turun membasahi bumi. Namun tak menyurutkan niat ku tuk pergi ke pernikahan kakak sepupuku. Singkat cerita aku pun tiba disana. Ketika  akan memasuki ruangan resepsi, aku disambut oleh seorang pagar ayu berparas cantik.
“Selamat datang, silahkan masuk....!” sapa si gadis dengan penuh keayuan. Hal itu membuat detak jantungku tak beraturan sebab belum pernah bertemu dengan gadis seperti itu seumur hidupku. Walau umurku belum bisa dikatakan telah sampai seumur jagung, mungkin inilah yang dikatakan para pujangga tentang cinta pada pandangan pertama.
“Terimakasih, kalau boleh tahu namanya siapa??” kataku gugup sambil memberanikan diri untuk menanyakan namanya.
Si gadis menjawab singkat “ Ulfah”.
Lalu aku pun mngulurkan tangannya sambil berujar “Jai, senang berkenalan denganmu”.
“Sama-sama” balasnya dengan suara merdu.
Lalu aku pun beranjak pergi ke dalam ruang jamuan dengan senyum bahagia dan hati yang berbunga-bunga.

Sejak perkenalan itu, ku jalinlah hubungan, hubungan yang makin hari terasa semakin dekat. Perlahan-lahan namun pasti benih-benih cinta pun bersemi. Tapi aku masih ragu tuk mengungkapkannya karena takut nanti akan bertepuk sebelah tangan.
Suatu hari aku pun mengajak Ulfah tuk bertemu di tepi pantai kampung kami. Dengan tekad yang bulat disertai hati berdebar aku pun mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam.
“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”

“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”

Fah, ku tak bisa merangkai kata menjadi kalimat bak syair-syair cinta para pujangga. Aku juga tak mampu mengukir awan agar kau tahu betapa indahnya bisa mencintaimu. Engkau pun amat cantik, berbudi baik, dan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasihku?” tanya ku dengan penuh harap.
Pertanyaan ku itu membuat jantungnya berdetak kencang sebab ia tak menyangka kalau aku akan mengatakan itu. Ternyata dalam hatinya ia juga punya perasaan yang sama terhadap ku. Maka ia pun menjawab dengan untaian pantun.
“Pepaya muda dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Baru kini dapat menegur”

“Jika roboh kota Jakarta
Papan di Sumatera saya tegakkan
Jika sungguh kanda berkata
Badan dan nyawa dinda serahkan”

Alangkah senang hati mendengar jawaban kasih berbalas kasih. Aku pun merasa sangat bahagia. Ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Sejak itu, aku dan Ulfah pun menjalin kasih.

Pada mulanya kami berniat menyembunyikan hubungan ini dari orang tua. Namun kami khawatir hubungan ini akan menimbulkan fitnah. Akhirnya aku dan Ulfah pun berterus terang kepada keluarga kami masing-masing.

Bagai belati tajam yang dihujamkan ke relung sukma ketika ku tahu kalau keluargaku dan keluarga ulfah  tak merestui hubungan kami. Hal itu dikarenakan kami masih satu suku dan satu datuk. Jika aku tetap meneruskan hubungan ini dan melanggar aturan adat, maka hukum adat pun akan berlaku. Aku dan Ulfah akan di usir dari kampung dan keluarga kami akan dikucilkan masyarakat, dipisahkan dari sanak saudara. Dan lebih pahit lagi, meski keluarga kami masih ada di kampung, masyarakat akan menganggap keluarga kami tidak ada.

Begitulah, peraturan adat ini entah berpedoman kepada apa. Katanya adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, tapi itu hanya tinggal filosofi saja. Adat dijalankan tanpa hukum agama. Padahal kalau di pandang dari sisi lain, bukan dari aturan manusia belaka, hubungan kami sah-sah saja.

Tak tega rasanya bila harus mengungkai kasih yang telah terlanjur tertuang pada panutan hati. Tak akan mampu rasanya berpindah ke lain hati. Ku teguhkan hati untuk pergi dari kampung halaman dimana aku dilahirkan dan dibesarkan, kampung halaman dimana aku main kejar-kejaran ketika masih kanak-kanak, tanah lapang tempatku bermain layang-layang, negeri nan elok, indah dengan barisan bukit hijau dan hamparan sawah yang menguning bagaikan taburan emas bila musim panen tiba, menjanjikan harapan pada petani karena terobat jerih payah mereka setelah berbulan-bulan merawatnya. Cericit burung pipit riuh gemuruh kala dihalau dari pematang sawah, harum wewangian bunga sedap malam semerbak memenuhi udara desa dikala malam tiba. Dalam waktu yang lama, itu semua hanya akan jadi kenangan belaka ketika kaki ku mulai melangkah jauh.

Ulfah tak bisa menerima kenyataan kalau hubungan kami terlarang dan ia tak merelakan  kepergianku. Sejak saat itu, ia tak mau lagi makan dan minum. Akibatnya kondisi fisik Ulfah pun melemah. Dari hari ke hari kondisinya bertambah buruk. Puncaknya, Ulfah pun dipanggil Sang Pencipta. Begitulah berita yang sampai ketelinganku. Mendengar itu, di sini, di hati ini, ada rintik-rintik duka yang tak mampu ku bahasakan dengan kata-kata ataupun lewat warnanya tinta. Bukan kepergiannya yang ku ratapi, tapi penyesalan yang tumbuh di diri ini. Kematiannya ku anggap suatu hal yang biasa, ada hidup tentu ada mati. Seperti halnya bunga-bunga yang mekar lalu berguguran jatuh kebumi. Disengaja ataupun karena masa.

Penyesalan. Penyesalan karena keputusanku yang membuat kematian bidadari panutan hati. Kematian yang membuat duka sanak saudara, kematian yang membuat para tetangga berbelasungkawa. Akhirnya berita duka itu jugalah yang membuat ku berani pulang ke kampung halamanku. Namun apa daya, mujur tak dapat diraih malang tak dapat di tolak. Tuk terakhir kalinya jenazah Ulfah pun tak sempat ku lihat. Hanya tanah merah yang kutemukan. Tanah merah basah tempat orang yang kucintai disemayamkan. Menetes air mataku mengenang penderitaan yang telah dia alami. Terasa lemah seluruh persendian tubuh saat kugenggam tanah lembab di atas kuburan kekasihku. Kuhirup udara yang bercampur tanah dan bau kembang yang ditabur, lalu kehempaskan bersama masalah yang terasa menyesak.

Ditulis Oleh :
JUMAIDI AGUS
MAHASISWA PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BUNG HATTA