Siang
itu, langit mendung, awan hitam masih bergelantungan menghiasi langit. Rintik-rintik
gerimis pun mulai turun membasahi bumi. Namun tak menyurutkan niat ku tuk pergi
ke pernikahan kakak sepupuku. Singkat cerita aku pun tiba disana. Ketika akan memasuki ruangan resepsi, aku disambut
oleh seorang pagar ayu berparas cantik.
“Selamat datang, silahkan masuk....!” sapa
si gadis dengan penuh keayuan. Hal itu membuat detak jantungku tak beraturan
sebab belum pernah bertemu dengan gadis seperti itu seumur hidupku. Walau umurku
belum bisa dikatakan telah sampai seumur jagung, mungkin inilah yang dikatakan
para pujangga tentang cinta pada pandangan pertama.
“Terimakasih, kalau boleh tahu namanya
siapa??” kataku gugup sambil memberanikan diri untuk menanyakan namanya.
Si gadis menjawab singkat “ Ulfah”.
Lalu aku pun mngulurkan tangannya sambil
berujar “Jai, senang berkenalan denganmu”.
“Sama-sama” balasnya dengan suara merdu.
Lalu aku pun beranjak pergi ke dalam ruang
jamuan dengan senyum bahagia dan hati yang berbunga-bunga.
Sejak perkenalan itu, ku jalinlah hubungan,
hubungan yang makin hari terasa semakin dekat. Perlahan-lahan namun pasti benih-benih
cinta pun bersemi. Tapi aku masih ragu tuk mengungkapkannya karena takut nanti
akan bertepuk sebelah tangan.
Suatu
hari aku pun mengajak Ulfah tuk bertemu di tepi pantai kampung kami. Dengan
tekad yang bulat disertai hati berdebar aku pun mengungkapkan perasaan yang
selama ini terpendam.
“Sudah
lama merendam selasih
Barulah
kini mau mengembang
Sudah
lama kupendam kasih
Barulah
kini bertemu pandang”
“Telah
lama orang menekat
Membuat
baju kebaya lebar
Sudah
lama abang terpikat
Hendak
bertemu dada berdebar”
Fah,
ku tak bisa merangkai kata menjadi kalimat bak syair-syair cinta para pujangga.
Aku juga tak mampu mengukir awan agar kau tahu betapa indahnya bisa
mencintaimu. Engkau pun amat cantik, berbudi baik, dan berhati lembut. Maukah
engkau menjadi kekasihku?” tanya ku dengan penuh harap.
Pertanyaan
ku itu membuat jantungnya berdetak kencang sebab ia tak menyangka kalau aku
akan mengatakan itu. Ternyata dalam hatinya ia juga punya perasaan yang sama
terhadap ku. Maka ia pun menjawab dengan untaian pantun.
“Pepaya
muda dari seberang
Sedap
sekali dibuat sayur
Sudah
lama ku nanti abang
Baru
kini dapat menegur”
“Jika
roboh kota Jakarta
Papan
di Sumatera saya tegakkan
Jika
sungguh kanda berkata
Badan
dan nyawa dinda serahkan”
Alangkah senang hati mendengar jawaban
kasih berbalas kasih. Aku pun merasa sangat bahagia. Ternyata cintaku tidak
bertepuk sebelah tangan. Sejak itu, aku dan Ulfah pun menjalin kasih.
Pada mulanya kami berniat menyembunyikan
hubungan ini dari orang tua. Namun kami khawatir hubungan ini akan menimbulkan
fitnah. Akhirnya aku dan Ulfah pun berterus terang kepada keluarga kami
masing-masing.
Bagai belati tajam yang dihujamkan ke
relung sukma ketika ku tahu kalau keluargaku dan keluarga ulfah tak merestui hubungan kami. Hal itu
dikarenakan kami masih satu suku dan satu datuk. Jika aku tetap meneruskan
hubungan ini dan melanggar aturan adat, maka hukum adat pun akan berlaku. Aku
dan Ulfah akan di usir dari kampung dan keluarga kami akan dikucilkan
masyarakat, dipisahkan dari sanak saudara. Dan lebih pahit lagi, meski keluarga
kami masih ada di kampung, masyarakat akan menganggap keluarga kami tidak ada.
Begitulah, peraturan adat ini entah
berpedoman kepada apa. Katanya adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah, tapi itu hanya tinggal filosofi saja. Adat dijalankan tanpa
hukum agama. Padahal kalau di pandang dari sisi lain, bukan dari aturan manusia
belaka, hubungan kami sah-sah saja.
Tak tega rasanya bila harus mengungkai
kasih yang telah terlanjur tertuang pada panutan hati. Tak akan mampu rasanya berpindah
ke lain hati. Ku teguhkan hati untuk pergi dari kampung halaman dimana aku
dilahirkan dan dibesarkan, kampung halaman dimana aku main kejar-kejaran ketika
masih kanak-kanak, tanah lapang tempatku bermain layang-layang, negeri nan
elok, indah dengan barisan bukit hijau dan hamparan sawah yang menguning bagaikan
taburan emas bila musim panen tiba, menjanjikan harapan pada petani karena
terobat jerih payah mereka setelah berbulan-bulan merawatnya. Cericit burung
pipit riuh gemuruh kala dihalau dari pematang sawah, harum wewangian bunga
sedap malam semerbak memenuhi udara desa dikala malam tiba. Dalam waktu yang
lama, itu semua hanya akan jadi kenangan belaka ketika kaki ku mulai melangkah
jauh.
Ulfah tak bisa menerima kenyataan kalau
hubungan kami terlarang dan ia tak merelakan
kepergianku. Sejak saat itu, ia tak mau lagi makan dan minum. Akibatnya
kondisi fisik Ulfah pun melemah. Dari hari ke hari kondisinya bertambah buruk.
Puncaknya, Ulfah pun dipanggil Sang Pencipta. Begitulah berita yang sampai
ketelinganku. Mendengar itu, di sini, di hati ini, ada rintik-rintik duka yang
tak mampu ku bahasakan dengan kata-kata ataupun lewat warnanya tinta. Bukan
kepergiannya yang ku ratapi, tapi penyesalan yang tumbuh di diri ini.
Kematiannya ku anggap suatu hal yang biasa, ada hidup tentu ada mati. Seperti
halnya bunga-bunga yang mekar lalu berguguran jatuh kebumi. Disengaja ataupun
karena masa.
Penyesalan. Penyesalan karena keputusanku
yang membuat kematian bidadari panutan hati. Kematian yang membuat duka sanak
saudara, kematian yang membuat para tetangga berbelasungkawa. Akhirnya berita
duka itu jugalah yang membuat ku berani pulang ke kampung halamanku. Namun apa
daya, mujur tak dapat diraih malang tak dapat di tolak. Tuk terakhir kalinya
jenazah Ulfah pun tak sempat ku lihat. Hanya tanah merah yang kutemukan. Tanah
merah basah tempat orang yang kucintai disemayamkan. Menetes air mataku
mengenang penderitaan yang telah dia alami. Terasa lemah seluruh persendian
tubuh saat kugenggam tanah lembab di atas kuburan kekasihku. Kuhirup udara yang
bercampur tanah dan bau kembang yang ditabur, lalu kehempaskan bersama masalah
yang terasa menyesak.
Ditulis Oleh :
JUMAIDI AGUS
MAHASISWA PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BUNG HATTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar